BANDUNG—Ada aroma rindu yang menguar kuat di sepanjang Jalan Ganesha, Kota Kembang, pagi itu. Bukan aroma kopi atau sejuknya embun, melainkan wangi cat baru berpadu debu nostalgia. Setelah sepuluh tahun lamanya menghilang dari kalender budaya, magnet itu kembali menarik ribuan pasang mata. Ya, Pasar Seni ITB (PSITB) 2025 akhirnya "pulang".
Sejak matahari baru menyapa, area kampus Institut Teknologi Bandung sudah disesaki lautan manusia. Mereka datang bukan sekadar melihat, tapi untuk sebuah ziarah budaya—mengunjungi kembali ikon yang telah lama menjadi denyut nadi seni rupa di Bandung.
Begitu melangkah masuk, pengunjung langsung disambut sebuah pemandangan sureal: seekor paus raksasa berwarna merah muda seolah melayang di antara rimbunnya pepohonan. Karya instalasi yang diberi tajuk 'Widya Segara' ini bukan hiasan semata. Ia adalah juru bicara lautan.
Diciptakan oleh seniman kondang Arkiv, paus ini lahir dari inisiatif Media Segara Project, sebuah teriakan seni yang lantang menyuarakan isu pencemaran laut dan tumpukan sampah plastik yang mengancam. Kehadirannya begitu megah, mengingatkan kita bahwa seni dan lingkungan adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Tak jauh dari sang paus, mata kita juga dimanjakan oleh makhluk purba yang terbuat dari logam: 'Pterodactyl' karya Septian Harriyoga. Dengan sayap dari dural, kuningan, dan gir besi, patung mekanik ini mengepak perlahan, memadukan imajinasi masa lalu dengan sentuhan teknologi modern yang menawan.
Jantung utama perhelatan ini berdetak kencang di Aula Barat dan Aula Timur. Lebih dari 100 karya dari 80 seniman, mayoritas alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, dipamerkan. Ini bukan hanya pameran, tapi sebuah rekaman sejarah yang memperlihatkan evolusi seni rupa Bandung dari masa perintis hingga eksperimen paling mutakhir saat ini.
Kurator pameran, Rizqi Ahmad Zaelani, menjelaskan bahwa ruang pameran ini berhasil menyajikan spektrum medium yang sangat kaya, mulai dari lukisan klasik hingga desain interaktif yang bisa langsung diajak berinteraksi oleh publik.
Suasana haru dan antusiasme terasa di setiap sudut. "Dulu waktu masih kuliah, wajib banget ke sini. Rasanya kayak... pulang kampung, walau kampus ini bukan kampung saya," ujar Robi, seorang pengunjung yang datang bersama keluarganya, matanya berkeliling penuh kerinduan.
Ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa Pasar Seni adalah ekosistem kebudayaan yang bertujuan menghilangkan sekat.
"Seni tidak seharusnya terpenjara di galeri kaca. Ia harus bisa dilihat langsung, disentuh, dan dinikmati masyarakat," tuturnya.
Inilah mengapa tema 'Setakat Lekat' dipilih. Tema ini menyiratkan upaya untuk menyatukan berbagai disiplin seni, komunitas, dan generasi. Setelah vakum satu dekade, ITB ingin menegaskan kembali bahwa di tengah gempuran notifikasi dan teknologi, kita harus tetap lekat dengan kemanusiaan dan kreativitas.
Pasar Seni ITB 2025 bukan hanya merayakan keindahan visual, namun juga merayakan kembalinya sebuah ikon kota yang telah lama dirindukan. Ia membuktikan, bahwa karya seni sejati adalah bahasa universal yang mampu menyemai kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Suksesnya acara ini seolah memberikan penanda, bahwa Bandung kini punya denyut nadinya kembali.
Comments
Leave a Reply